
Perlu menggerakkan agar jumlah investor dan UMKM pengguna equity crowdfunding meningkat. Dengan cara ini, UMKM dapat memanfaatkan equity crowdfunding syariah sebagai solusi terhadap UMKM yang unbankable dan mempunyai keterbatasan akses keuangan terhadap lembaga keuangan yang ada saat ini sehingga UMKM dapat bertahan dan berkembang dengan baik.
PANDEMI Covid-19 hingga kini belum juga berakhir dan telah berdampak pada penurunan kinerja UMKM.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, tahun 2020 terdapat sekitar 37.000 UMKM terdampak pandemi dengan sangat serius. Perinciannya, 56% mengalami penurunan penjualan, 22% kesulitan modal, 15% kesulitan distribusi barang, dan 4% kesulitan bahan baku mentah.
Padahal UMKM mempunyai peran strategis yang ditunjukkan dengan kontribusinya terhadap Product Domestic Bruto (PDB) 61,07% atau senilai Rp 8.573,89 triliun, mampu menyerap 97% dari total tenaga kerja, dan dapat meningkatkan investasi 60,4% dari total investasi modal kecil terpercaya.
Agar UMKM dapat bangkit kembali untuk menjalankan bisnisnya secara normal, tentu memerlukan modal. Namun UMKM mempunyai keterbatasan akses keuangan karena UMKM tidak mempunyai collateral yang memadai dan tidak mempunyai kemampuan untuk menyusun laporan keuangan dengan baik.
Karena itu, pada era digital ini, telah dikembangkan teknologi keuangan, salah satunya berbentuk equity crowdfunding.
Equity Crowdfunding
Equity crowdfunding adalah metode urun dana dari berbagai investor individual ataupun institusional melalui platform digital.
Di dalamnya terdapat berbagai pihak, UMKM sebagai pihak yang membutuhkan dana, perusahaan sebagai lembaga intermediasi, dan investor sebagai pihak yang mempunyai kelebihan dana dan menanamkan dananya melalui platform digital tersebut.
Perusahaan equity crowdfunding ini akan berkembang dengan baik jika didorong baik supply side, yaitu jumlah investor yang banyak dengan jumlah akumulasi modal yang jumlahnya juga banyak, serta demand side yaitu jumlah UMKM yang memenfaatkan equity crowdfunding tersebut. Dengan demikian, perlu menggerakkan agar jumlah investor dan UMKM pengguna equity crowdfunding meningkat.
Dengan cara ini, UMKM dapat memanfaatkan equity crowdfunding syariah Indonesia sebagai solusi terhadap UMKM yang unbankable dan mempunyai keterbatasan akses keuangan terhadap lembaga keuangan yang ada saat ini sehingga UMKM dapat bertahan dan berkembang dengan baik. Selama pandemi, banyak kebijakan pemerintah yang membuat UMKM unbankable dan tidak tersentuh oleh lembaga keuangan lainnya dapat memanfaatkan platform digital dalam memenuhi kebutuhan modal, yaitu dengan equity crowdfunding.
Ada beberapa alasan. Pertama, equity crowdfunding mampu membantu UMKM dalam mendapatkan modal secara cepat, efektif, murah, dan efisien.
Kedua, equity crowdfunding mempermudah UMKM dalam mengakses investor lebih banyak, lebih luas, dengan jumlah dana yang lebih besar secara digital.
Ketiga, UMKM akan mendapat kesempatan untuk mempresentasikan rencana bisnisnya, seperti profil perusahaan, target pasar, keuntungan, dan sebagainya.
Investor pun akan menilai rencana bisnis UMKM secara objektif, transparan, serta calon investor dapat memberikan saran-saran yang menguntungkan bagi UMKM.
Keempat, UMKM mendapatkan kesempatan untuk promosi produk dan layanan dengan cara presentasi untuk menarik minat investor untuk berkunjung ke website milik UMKM. Kelima, akan menghasilkan keuntungan, bahkan UMKM dapat berkembang dalam jangka panjang. Namun, equity crowdfunding juga mempunyai beberapa risiko. Pertama, dapat menurunkan reputasi UMKM. Risiko kegagalan dalam suatu proyek yang didanai oleh banyak investor akan berpotensi merusak reputasi dan citra UMKM.
Bahkan dana yang terhimpun akan dikembalikan kepada investor apabila tujuan dari urun dana tersebut gagal dalam mencapai tujuannya. Kedua, pencurian ide bisnis yang unik dan prospek bisnis milik UMKM.
Pada satu sisi mereka harus mempresentasikan produk dan prospeknya ke publik, namun di sisi lain UMKM juga khawatir ide bisnis unik dan berbeda miliknya yang belum dipatenkan itu akan dicuri oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Ketiga, risiko penyalahgunaan dana tinggi. Ada informasi yang asimetris antara investor dan UMKM, sehingga dana yang sudah terkumpul akan berisiko tidak digunakan sebagaimana yang disepakati, bahkan tidak terdeteksi penggunaannya.